156. ADA SEKAT DALAM IBADAH KITA
Kajian Wanita Kitab Al-Wabilush Shayyib
Pasal: Hadirnya hati saat melaksanakan shalat
Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Allah berfirman, "(Ia berpaling) kepada yang lebih baik dari-Ku, kepada yang lebih baik dari-Ku?"
Perumpamaan orang yang menoleh dalam shalatnya dengan penglihatan maupun hatinya adalah seperti seseorang yang dipanggil oleh penguasa lalu ia diberdirikan di hadapannya, dan ia menemui sang penguasa kemudian mengajaknya bicara. Di sela-sela pembicaraannya dengan penguasa, ia malah menoleh ke kiri dan ke kanan dan hatinya berpaling dari penguasa sehingga ia tidak lagi memahami apa yang dikatakan kepadanya karena hatinya tidak lagi hadir bersamanya. Bagaimana mungkin orang tersebut berbuat seperti itu terhadap penguasa. Bukankah lebih pantas baginya untuk pergi dari sisi penguasa disebabkan karena tidak lagi memperhatikan pembicaraannya? Orang yang shalat tidak sebanding satu sama lainnya, dan yang hadir hatinya menghadap Allah dalam shalatnya sehingga hatinya merasakan keagungan Rabb yang mana ia berdiri di hadapan-Nya, hatinya dipenuhi dengan kebesaran-Nya, tunduk kepada-Nya dan merasa malu kepada Rabb-nya untuk menghadap kepada selain-Nya atau berpaling dari-Nya. Dan (terdapat perbedaan) antara shalat keduanya, sebagaimana perkataan Hassan bin `Athiyyah, "Sesungguhnya dua orang berada dalam satu shalat yang sama, namun perbedaan keutamaan antara keduanya seperti langit dan bumi. Hal itu karena salah satu di antara keduanya menghadap Allah dengan hatinya, sementara yang lainnya lupa dan lalai." Apabila seorang hamba menghadap kepada makhluk semisalnya lalu di antara keduanya terdapat penghalang, maka itu tidak dikatakan menghadap dan mendekatkan diri. Bagaimana keadaannya dengan Sang Pencipta ﷻ? Apabila seorang hamba menghadap kepada Allah, sementara antara ia dan Allah terdapat penghalang berupa syahwat, waswas, jiwa yang senang dengannya dan penuh dengan syahwat, maka bagaimana mungkin hal itu disebut sebagai menghadap kepada Allah, sementara ia diperbudak oleh rasa waswas dan pikiran-pikiran, dan pikirannya itu telah membawanya jauh dari konsentrasi dengan shalat yang ia lakukan?
Jika seorang hamba melaksanakan shalat, maka syaithan tidak suka kepadanya karena harnba itu sedang melaksanakan ibadah yang paling agung, paling dekat, paling kasar terhadap syaithan dan sangat keras terhadapnya. Syaithan akan berusaha sekuat tenaga agar hamba ini tidak melaksanakan shalat, bahkan syaithan senantiasa memberikan angan-angan dan menjadikannya lupa. Syaithan juga mengirim kepadanya pasukan berkuda dan pasukan yang berjalan kaki sampai hamba ini memandang remeh perintah shalat dan menggampangkannya lalu pada akhirnya ia meninggalkannya.
Apabila syaithan tidak mampu rnempengaruhinya dengan cara ini dan hamba itu tetap melaksanakan shalatnya, maka syaithan akan kembali datang dan membisikkan dalam pikirannya, membuat penghalang antara ia dan hatinya, menjadikan hamba itu ingat dengan apa-apa yang sebenarnya ia tidak ingat sebelum melaksanakan shalat. Bahkan bisa jadi hamba itu lupa terhadap sesuatu atau hajat sehingga ia berputus asa darinya, maka syaithan akan mengingatkannya pada saat shalat agar syaithan menyibukkan hatinya dengan hajatnya itu dan menjauhkannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang mengerjakan shalat tanpa menghadirkan hatinya maka ia tidak akan memperoleh kesejahteraan dan keberkahan dari-Nya serta kedekatan dengan-Nya. Orang seperti ini tidak akan memperoleh seperti apa yang diperoleh oleh orang yang menghadap kepada Rabb-nya dengan hati yang hadir dalam melaksanakan shalat. Orang seperti ini juga akan keluar dari shalatnya seperti orang yang melaksanakannya dengan kesalahan-kesalahannya, dosa-dosanya dan belum mendapatkan keringanan dari kesalahan dan dosanya dengan shalat yang ia laksanakan karena shalat hanya akan menghapuskan dosa orang yang melaksanakan, hak-haknya, khusyu' dan berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan hati yang hadir.
view more